Tuesday, January 5, 2010

RIBA

A. Tahapan Diharamkannya Riba
Chapra (2000) menyebutkan dari beberapa literatur bahwa larangan riba muncul dalam Al-Quran pada empat kali penurunan wahyu/tahapan yang berbeda-beda.

Yang pertama (Ar-Rum : 39) diturunkan di Mekah, menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda. As-Shabuni (2003) menjelaskan menurut zhahirnya tidak isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba itu. Tetapi yang ada hanya isyarat akan kemurkaan Allah terhadap riba itu, di mana dinyatakan “Riba itu tidak ada pahalanya disisi Allah” Jadi dengan demikian, ayat ini baru berbentuk “Peringatan untuk supaya berhenti dari perbuatan riba (mau’izhah salbiyah)”.

Kedua (An-Nisa : 161), diturunkan pada masa permulaan periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap kedua ini, Al-Quran menyejajarkan orang yang mengambil riba dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang amat pedih.
Ash-Shabuni (2003) menjelaskan ayat ini merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada kita tentang perilaku Yahudi yang dilarang memakan riba, tetapi justru mereka memakannya, bahkan menghalalkannya. Maka sebagai akibat dari itu semua, mereka ini mendapat laknat dan kemurkaan dari Allah.

Jadi larangan riba di sini baru berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan. Sebab ini adalah kisah Yahudi yang bukan merupakan dalil qath’i, bahwa riba itu diharamkan atas orang-orang Islam. Ini sama dengan larangan arak dalam periode kedua, yaitu : “Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi, maka jawablah : bahwa pada keduanya itu ada dosa yang besar, di samping juga banyak manfaatnya bagi manusia”. (2:219). Larangan di sini berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan.

Wahyu yang ketiga (Ali-Imran : 130-132), diturunkan kira-kira tahun kedua atau ketiga hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang sebenarnya).
Ash-Shabuni (2003) mengatakan lebih lanjut bahwa ini merupakan larangan secara tegas. Tetapi larangan (haramnya) di sini, baru bersifat juz’iy (sebagian), belum kulliy (menyeluruh). Karena haramnya di sini adalah satu macam dari riba yang ada, yang disebut “riba fahisy” (riba yang paling keji), yaitu bentuk suatu bentuk riba yang paling jahat, di mana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh orang yang mengutanginya itu, yang justru dia berhutang karena butuh atau terpaksa. Ini sama dengan diharamkannya arak pada periode ke tiga, yang haramnya itu juga baru bersifat juz’iy bukan kulliy. Yakni masih terbatas pada waktu-waktu shalat, seperti yang difirmankan Allah : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, padahal kamu sedang mabuk, hingga kamu sadar akan apa yang kamu katakan,” (An-Nisa : 42)

Wahyu keempat (Al-Baqarah : 275-281), diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah SAW, mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan.

Dalam ayat ini Ash-Shabuni (2003) memastikan bahwa riba itu telah diharamkan secara menyeluruh (kulliy), di mana pada periode ini Al-Quran sudah tidak lagi membedakan banyak dan sedikit. Dan ini adalah merupakan ayat yang terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Yaitu firman Allah yang mengatakan : “Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba…” (Al-Baqarah : 278)
Ayat-ayat ini merupakan tahap terakhir tentang diharamkannya riba, sama dengan tahap terakhir tentang diharamkannya arak, dan merupakan larangan yang tegas : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan undian, adalah najis yang berasal dari perbuatan syetan. Oleh karena itu jauhilah dia supaya kamu berutang.” (Al-Maidah : 93)

No comments:

Post a Comment